543 Views
oleh

Tatak Kecam Vonis Peradilan Sesat Tragedi Kanjuruhan

MALANG || Bratapos.com – Tatak mengkritik keras vonis ringan hingga bebas para terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan Malang yang mengakibatkan ratusan orang meninggal.

Ach. Hussairi Sekretaris Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) menyoroti vonis bebas dua terdakwa yang merupakan anggota kepolisian. Menurut dia, proses penegakan hukum telah gagal memberikan keadilan bagi korban.

“Pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan oknum aparat meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat,” ujar Ach. Hussairi kepada Bratapos, Sabtu (18/3/23).

Hussairi mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh oknum aparat keamanan yang terlibat dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, termasuk mereka yang berada di jajaran komando guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai imunitas. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen.

“Kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh oknum aparat keamanan di Indonesia,” kata Hussairi.

“Kasus tragis ini harus menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama. Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum,” tandasnya.

“Kami mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik,” ucap Hussairi.

Ahmad Fauzi Ali Bahtiar yang lebih dikenal dengan nama panggilan Faal juga Tim Tatak menyatakan pihaknya sejak awal telah mencurigai proses hukum dijalankan dengan tidak sungguh-sungguh guna mengungkap kasus. Koalisi, lanjut dia, menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) dan melindungi pelaku.

“Selain itu, kami juga turut melihat bahwa proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process). Dugaan kami turut didorong dengan berbagai keganjilan selama persidangan yang kami temukan,” kata Faal.

Sementara itu, Ikhwanul Arif juga anggota Tim Tatak memandang putusan majelis hakim terhadap para terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan mencederai rasa keadilan masyarakat terutama korban dan keluarganya. Sebab, kasus ini mengakibatkan 135 orang meninggal, 26 orang luka berat dan 596 orang luka ringan.

“Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban,” kata Ikhwanul Arif.

“Putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim terhadap dua orang terdakwa dari kepolisian yaitu AKP Bambang Sidik (Kasat Samapta) dan Kompol Wahyu (Kabag Ops Polres Malang) sangat bertentangan dengan logika hukum publik padahal keduanya merupakan penanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan pada pertandingan tersebut,” lanjut dia.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Wahyu tidak terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan jaksa penuntut umum,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan amar putusan-nya. Vonis bebas tersebut, jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan dituntut 3 tahun penjara.

Hakim mengatakan, terdakwa tidak memenuhi unsur kealpaan seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

“Majelis berkesimpulan tidak terdapat sebab akibat perbuatan terdakwa dengan timbulnya korban,” cerita Ikhwanul Arif.

Menurut hakim, karena tidak terbukti memenuhi unsur kealpaan maka terdakwa dibebaskan atas dakwaan kumulatif penuntut umum.

“Memerintahkan terdakwa dibebaskan dikeluarkan dari tahanan setelah putusan diucapkan. Pulihkan hak terdakwa,” kata hakim, Lanjut Ikhwanul Arif.
Menanggapi putusan hakim tersebut, terdakwa menerima dan jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir terkait putusan. (Conk Arif)

Writer: Conk ArifEditor: rf