# oleh Riana Grey
# Rokan Hulu, 2 Juni 2018
“Tuhan Maha Baik dengan segala rancangan-Nya…”
Sisa hujan masih menggenangi pelataran parkir yang tidak seberapa ramai, aroma lembab menguar membuat aku menarik sweater abu-abuku lebih rapat. Dihadapanku perempuan itu masih diam sambil memandang kosong pada cangkir teh hangatnya yang tinggal berisi separuh. Sementara machiato panas-ku sama sekali belum tersentuh.
Aku tau betul, ada banyak hal yang ingin diutarakan olehnya kepadaku. Sesekali dia mendesah dan bergumam. “Mana yang lebih mudah bagimu untuk saat ini?” akhirnya aku membuka suara, saat kalimatnya yang kutunggu-tunggu tidak kunjung keluar dari bibir tipis merah muda-nya.
“Keduanya sulit. Aku tidak sanggup melepaskan dia, tapi juga berat untuk tetap bersama. Aku ingin dia menjadi milikku yang utuh. Tidak dengan cara seperti ini.”
Akhirnya ceracauan yang ingin kudengar, meluncur bebas darinya. See, banyak hal yang ingin dia utarakan. Hanya saja dia tidak tau harus memulai dari mana. “Saat awal bersamanya, kau tau bahwa ada hak milik atas dirinya oleh orang lain dan tidak mungkin menjadi milikmu. Utuh. Kau boleh menikmatinya…tapi tidak untuk memilikinya.”
Ia diam. Barangkali sedang berusaha mencerna kalimatku. Atau berusaha menampiknya seperti ia mengabaikan segala sesuatu termasuk kenyataaan bahwa yang ia cintai srlama ini adalah milik orang lain. Berat. Bimbang. Aku tau rasanya jadi dia. Kubiarkan ia menyesap teh hangatnya sementara aku menikmati sisa hujan dan hawa dingin yang menelusup.
Dari tempat kami duduk, jalanan terlihat ramai dan terdengar bising. Tempat ini tidak seberapa nyaman. Tapi aku nyaman menatapi mata tajam namun sendu di hadapanku ini. Barangkali mata inilah yang telah berhasil menghipnotis lelaki itu hingga tak peduli meski telah beristri, ia nekat menjalin hubungan dengan pemilik mata tajam ini. Atau barangkali karna suara dalam dan bernada yang terkesan manja darinya. Entahlah. Yang jelas, segala pesona dan daya saling tarik-menarik antara perempuan di hadapanku ini dengan lelaki itu, telah menimbulkan sebuah kekacauan bathin bagi keduanya.
“Aku hanya ingin dia menjadi milikku. Utuh. Itu saja.”
Meski aku tau, jauh di dalam mata tajamnya itu ada genangan air mata yang siap meluncur, namun suara perempuan ini terlihat tetap tenang. Ia sungguh seperti mahkota yang indah, nampak berkilau dan mahal, namun rapuh. “Bersamanya aku merasa lengkap. Bersamanya aku merasa memiliki rumah masa kecil tempat aku bebas menjadi kanak-kanak. Kami pernah bertengkar hebat dan tidak saling bertemu untuk tiga minggu lamanya. Dan selama itu pula aku merasa hidupku tidak ada artinya, tidak ada semangat yang membuatku ingin membuka mata,” lanjutnya.
Aku menahaan helaan napas. Sedalam itukah arti seorang lelaki beristri dalam hidupnya? Aku menyesap machiato panas yang uapnya sudah entah kemana, mengumpulkan kosa kata yang tepat untuk menghadapkan perempuan ini pada sebuah kenyataan.
“Pernahkah kau merasa sepi?” aku mulai menyelidik.
“Ya, setiap kali dia bersama istrinya dan tidak menghubungiku.”
“Bagaimana rasanya?”
“Sakit. Membayangkan apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Meskipun aku tau aku lebih baik, namun aku tidak memiliki kesempatan untuk bisa selalu bersamanya. Itulah mengapa aku ingin menjadi satu-satunya bagi dia.”
Aku kembali terdiam. Perempuan ini bulat dengan inginnya. Memiliki utuh. Ah, andai saja perasaan bisa dengan mudah dibolak-balikkan. Kugenggam tangan perempuan itu, setidaknya berusaha membuatnya yakin, bahwa ia mampu melewati ini dan akan menemukan jawaban permasalahan ini di dalam hatinya sendiri, bukan dariku. Aku hanya pendengar yang menjembatani antara masalahnya dengan penyeselesaian yang sesungguhnya sudah terangkai jelas di pikirannya sendiri.
“Kau mencintainya?”
“Ya! Sangat!” Dia terlihat bersemangat.
“Keinginan itu ibarat pasir di telapak tanganmu. Jangan digenggam karna perlahan ia akan jatuh dari sela-sela jari. Terlebih jika kau menggenggamnya erat, ia akan melukaimu. Buka saja telapak tanganmu lebar-lebar, biarkan pepasir itu berada di atas telapak tanganmu dan bawa ia perlahan…perlahan saja. Hingga sampai ke tujuan di mana kau ingin ia ada.”
Kutepuk pundaknya seusai menutup kalimatku dengan anggukan sebagai konfirmasi bahwa aku yakin dia paham. Lalu aku beranjak dari tempat yang semakin menggelap itu, masuk ke sedan hitam milikku dan menikmati jalanan lembab di senja hari yang temaram, di kota kecil yang selalu menjadi tempatku pulang. (R)