JAKARTA – Dalam beberapa bulan terakhir, guru sering masuk bui gara-gara mendisiplinkan muridnya. Merasa mendapatkan ketidakadilan, mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para guru yang dibui dikenakan UU Perlindungan Anak. Padahal, guru sedang menjalankan profesinya yang juga dilindungi UU Guru dan Dosen.
Untuk meyakinkan Mahkamah Kontitusi (MK), Ketua PGRI Sulawesi Selatan Prof Dr Wasir Talib memaparkan berbagai fakta yang ada di lapangan. Seperti guru SMKN 2 Makassar, Dasrul, yang dianiaya murid dan orang tua murid, karena si murid yang tak mengerjakan PR ditegur Dasrul.
“Nurmayani adalah Guru SMP Negeri 3 di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dipenjara gara-gara mencubit siswa yang tidak mau melaksanakan praktik salat duha. Cubitan yang dilakukan itu hanya bermaksud untuk mendidik, bukan menyiksa, namun Nurmayani mendapat perlakuan masuk dalam bui,” kata Wasir sebagaimana dikutip dari risalah sidang MK, Selasa (23/5/2017).
Kasus kedua dialami Mubasyir, guru sukarela SMA Negeri 2 Sinjai Selatan. Mubasyir harus mendekam di dalam penjara hanya karena mendisiplinkan siswa dengan cara menggunting rambut. Siswa melawan sehingga tangannya tergores. Siswa itu tak terima dan melaporkan ke polisi atas luka itu.
“Guru SMP 3 Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Selayar harus dipenjara karena menempeleng seorang siswa yang ribut dan mengganggu temannya yang sedang menunaikan ibadah salat zuhur di musala,” ujar Wasir.
Contoh selanjutnya yaitu Bulu Tantu, guru mata pelajaran Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Binangu, Kabupaten Jeneponto. Ada pula Haslina Gaffar, Guru SMK Negeri 1 Malangke Barat, Kabupaten Luwu Utara. Haslina kritis di rumah sakit setelah ia ditikam oleh muridnya.
“Siswa dendam karena guru tersebut sering melaporkan siswa itu kepada orang tuanya jika siswa tersebut nakal,” tutur Wasir dalam sidang yang digelar pada Senin (22/5) kemarin.
Contoh terakhir, Wasir menunjukkan seorang foto yang memperlihatkan seorang siswa SMA Ilham Makassar, yang merokok di samping guru bahasa Indonesia, Ambo.
“Guru tersebut takut menegur, apalagi memberikan sanksi karena takut dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan HAM,” cetus Wasir.
Dalam berbagai kasus di atas, aparat menggunakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 9 ayat 1a UU Perlindungan Anak, disebutkan:
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.
Gara-gara pasal di atas, guru tidak bisa profesional saat mendidik siswanya, termasuk saat memberikan pendisiplinan siswa.
“Pasal itu telah mengakibatkan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Salah satunya terkait penegakan disiplin dengan cara memberikan punishman menjadi tidak wajar dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia. UU Perlindungan Anak seringkali dijadikan alasan untuk menghalangi guru yang berupaya mendidik siswa dengan metode pemberian hukuman,” ujar tim kuasa hukum keduanya, M Asrun.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK memberikan tafsir atas UU Perlindungan Anak tersebut. Sehingga UU Perlindungan Anak tidak bebas ditafsirkan, termasuk mengkriminalkan guru yang sedang menjalankan tugasnya.
“Tidak mencakup tindakan guru dan tenaga kependidikan yang sungguh-sungguh memberikan sanksi dan atau hukuman yang bersifat mendidik untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangan,” papar Asrun dalam permohonannya.