Oleh Neni Suheni
Nadia memasuki kelasku, tepat sepuluh menit sebelum anak-anak makan siang. Seorang anak perempuan menjelang remaja, berumur 10 tahun. Rambutnya sepinggang dibiarkan tergerai dengan bando warna ungu yang melengkapi kecantikannya.
Tanpa ragu, dia langsung mendekatiku. Setelah mengangguk sopan dan memberikan senyuman manisnya. Dia meletakkan sebuah toples yang berisi burung bangau dari kertas origami. Cantik dalam keaneka ragaman warna.
“Ini untukmu!” Katanya sambil tersenyum dengan mata membulat sempurna, aku menerimanya dengan mata yang hampir mengkhianati kebahagiaanku, setengah menahana isak yang menggerogoti dadaku, kuraih kedua tangannya dan kupeluk dia. Kubisikan kata terima kasih untuknya, kata-kata yang membuatnya mempererat pelukannya dipinggangku.
Terbayang kembali saat empat tahun lalu, untuk pertama kalinya kami bertemu. Seorang anak kecil kurus pemberontak, tukang marah dan suka berkata kasar, temperamennya mengalahkan ibu kost yang sedang menagih uang bulanan. Bahkan tangannya lebih cepat dari gerakan mulutnya, dia selalu mencubit, memukul dan meludahi siapapun yang tidak disukainya. Termasuk aku.
Begitu panjang hari-hari yang kulalui dengannya, tak jarang aku pulang membawa luka lebam ditanganku.
Nadia, memiliki kecenderungan untuk menyakiti siapapun termasuk dirinya saat dia merasa tidak aman. Merasa tertekan dan sakit hati.
Lagi, penyebabnya karena orang tua. Orang dewasa yang harusnya memberikannya perlindungan, rasa aman, kasih sayang dan sikap moral yang baik. Yang kelak akan ditirunya dan bisa menjadi bekalnya dikemudian hari.
Apa yang tergambar di benak Nadia, ternyata jauh dari yang dia harapkan selama ini. Sang ayah menggilai judi dan mulai mabuk-mabukkan, saat kalah dimeja judi maka dia tidak akan segan memukuli isteri dan anaknya sendiri. Dan si mama tidak kalah ajaibnya, kecewa dengan perangai suami yang sepertinya tidak akan berubah, memilih kabur dari rumah dengan peria idaman lainnya.
Mereka melupakan Nadia yang menggigil ketakutan, bersembunyi dikolong meja makan. Nadia, yang kemudian mengikuti jejak mamanya, dia kabur dari rumahnya dan terdampar dirumah tetangga yang jaraknya 1 kilo dari rumahnya.
Nadia, dalam keadaan sakit dan penuh luka. Saat bertemu dengan dokter Chand yang entah bagaimana bisa memutari jalan itu. Menemukan gadis kecil yang sedang menangis ketakutan.
Nadia, dua minggu setelahnya kami menuju rumahnya, mencari sang ayah yang ternyata semakin mengenaskan semenjak ditinggal lari sang isteri. Sang ayah yang hanya memandangi anaknya penuh kebencian dan menuding kami sebagai biang kerok atas ketidak patuhan anaknya. Lemparan asbak rokok menjadi tanda dari sikapnya yang ingin mengusir kami, lalu akhirnya dia mengalah setelah beradu mulut dengan kepala desa dan pengacara yang kami bawa.
Nadia, akhirnya bisa tertawa saat kehangatan keluarga baru melengkapi hidupnya. Tapi ternyata perasaan kesakitan dan kerinduan akan mamanya, membuatnya menjadi pendiam dan selalu melawan perkataan siapapun. Dimatanya, orang dewasa hanyalah sekumpulan orang yang sok tahu, orang yang suka mengatur dan merasa paling benar.
Hingga satu hari, saat aku sedang membuat seekor burung bangau dari kertas origami, dia mendatangiku, dengan mata dipenuhi rasa penasaran.
Dia menengadahkan tangannya tanpa bicara, lalu kusuruh dia untuk meminta dengan sopan. Saat itu meski matanya dipenuhi minat dia langsung membuang muka dan melengos pergi dengan meninggalkan sebuah bantingan pintu dibelakangnya.
Lalu besoknya dia akan datang lagi, duduk disudut kelas melihatku mengajar, mulutnya terkunci sambil mencibir, sesekali dia mentertawakan tingkah laku anak-anakku yang dianggapnya konyol dan aneh, lalu dia akan gelisah. Berulang kali melihat jam dinding dengan kepala dipenuhi pertanyaan. Dia menunggu saat aku akan mengeluarkan kertas origami, kertas beraneka warna yang telah membuatnya diam-diam jatuh hati.
Kertas origami yang diam-diam telah merontokkan kekerasan hatinya, kertas origami yang akhirnya kugunakan saat harus menenangkan dia. Saat dia mulai gelisah, dipenuhi kemarahan dan sakit hati akan kenangan masa lalu, maka aku akan menyuruhnya melipat kertas-kertas itu.
Aku membelikannya sebuah toples dan memintanya untuk memenuhi toples itu dengan aneka warna kertas. Dan toples itu kini ada ditanganku berada dalam pelukanku dengan warna-warna indah.
Seindah senyumannya saat dia melambai padaku, hari ini dia akan pergi bersama keluarga barunya. Menjejakkan kaki ditanah baru yang penuh harapan.
Medan, 23 Januari 2017
Komunitas Gelas Kosong