ZIARAH

Adventurial835 views

BAGIAN TIGA

Cerita bersambung
Oleh: Riana Grey

“Ini adalah perjalanan pembuktian, seberapa jauhpun masa lalu terbentang, segalanya masih tetap sama. Bahkan masa lalu adalah rumah bagiku untuk pulang.”

Bus melaju perlahan memasuki jalanan yang asing bagi Are. Sesekali penjual asongan masih keluar-masuk bus menjajakan dagangan mereka. Tahu sumedang, gantungan kunci, buku, majalah, koran, pemotong kuku, macam-macam air minum dan jajanan, nasi, buah-buahan. Para pencari nafkah itu silih berganti memadati bagian tengah bus. Tidak terkecuali pengamen dengan gitar kecil atau alat-alat musik seadanya.

Awalnya Are begitu antusias, mulutnya sibuk mengunyah sementara matanya mengikuti arah tertinggalnya pemandangan yang berkelebat dari kaca jendela sambil sesekali melihat-lihat isi dagangan para penjual asongan, tapi tidak ada yang menarik minatnya. Renata yang duduk di samping Are membiarkan putranya itu menikmati kesan baru yang baru kali ini ia alami. Biasanya Renata hanya mngajak Are berkeliling kota dengan mobil, atau paling jauh pergi ke Malang hanya untuk makan bakso atau es krim favorit mereka.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tidak lama berselang setelah Are terlihat begitu antusias tadi, pedagang asongan sudah lengang. Tidak ada lagi yang keluar-masuk bus dan semua penumpang terlihat lebih tenang. Lambat-laun kepala Are mulai terkulai dan matanya nyaris rapat terkatup. Renata menyandarkan tubuh lelaki kecil itu di dekapannya sambil mengusap-usap dan sesekali menciumi ujung kepalanya. Aroma shampo bayi yang terhirup dari rambut putranya membawa ingatan Renata pada tahun-tahun silam. Tahun-tahun yang ia sebut sebagai masa terberat dalam hidupnya.

Layar televisi di bagian depan bus memutar video klip dari lagu-lagu Jawa Timuran yang khas. Satu persatu penumpang mulai terpekur dalam tidur. Supir bus sesekali bersenandung. Renata mencoba memejamkan mata dan ingin tertidur, tetapi semakin ia memejamkan mata, semakin luka-luka di hatinya seperti kembali menganga. Sulit dipercaya, sepuluh tahun dan meski bersikap seolah semua baik-baik saja, nyatanya perasaan itu tidak pernah membaik.

Rekan-rekan kerjanya tau, keluarganya tau, sahabat dan teman-temannya tau. Mereka semua mencoba menghibur dan benar saja, Renata terlihat baik-baik saja di depan mereka. Hanya di depan mereka dan Are. Tapi tidak di dalam hatinya.

“Nggak kelihatan di kantor? Kamu jadi pergi, Ren?” Pesan singkat dari Ginta, kepala redaksi di harian pagi tempatnya bekerja.

Renata membuka matanya dan membalas pesan singkat di ponselnya. “Iya, Gin. Sudah di bus.”

Seperti tidak rela, Ginta memberondong Renata dengan berbagai pertanyaan. “Apa menurut kamu, Are udah siap untuk tau semuanya? Kamu sanggup, Ren? Apa kami perlu nyusul ke sana?”

Kami’. Kata yang dipakai Ginta yang artinya, dia dan teman-teman mereka yang lain. “I’m fine, Gin. Nggak usah khawatir. Tolong handle kerjaanku aja, ya.”

Renata mematikan dering ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas selempang yang ia letakkan di pangkuan. Ia punya teman-teman yang begitu perhatian, salah satu alasannya untuk tetap bertahan. Tentunya selain untuk Are, putra semata wayangnya. Satu-satunya yang tersisa dari diri Diaz. Ah, betapa mengingat namanya saja membuat air mata Renata nyaris luruh. Renata merapikan helaian rambutnya dan menghela napas yang seperti tersumbat di dada. Di luar, bercak gerimis sesekali singgah di kaca jendela. Bus masih melaju membelah jalanan. Renata memejamkan mata rapat-rapat, satu persatu kenangan itu tertampil seperti slide video dalam gerak lamban di ingatannya.
***

Oktober sepuluh tahun lalu,  Musim kemarau masih berlanjut. Tidak ada jalanan basah meskipun Oktober dikenal sebagai bulan penghujan. Nyatanya Surabaya masih lengang dari gemericik air bening yang tertumpah dari langit secara bersamaan. Gadis dua puluh empat tahun itu merapikan kerah kemeja dan memperbaiki posisi lipatan lengan kemejanya, ia berdiri di dalam lift yang akan mengantarnya ke lobi gedung. Celana jeans coklat dan sepatu kets warna senada membuat penampilannya terlihat enerjik dan sederhana.

Denting lift berhenti di lobi. Semua orang yang bekerja di gedung itu mengenalnya sebagai lift 4. Lift yang hanya menuju ke lantai empat dan lima tempat kantornya berada. Sedangkan lift satu dan dua menuju ke lantai-lantai lain termasuk lantai dua puluh satu tempat salah satu stasiun televisi swasta Jawa Timur berada.

Gadis berkemeja putih itu, Renata namanya. Ia berjalan melewati meja informasi dan menyapa perempuan seumurannya yang duduk di balik meja, langkahnya melewati  minimarket, gerai pakaian sport dan kantor provider internet yang letaknya dekat dengan pintu masuk lobi. Menyapa satpam di depan pintu lalu berjalan lebih cepat sambil telapak tangannya berada di depan dahi untuk berlindung dari terik panasnya Kota Surabaya.

Tujuannya adalah ke kantin yang letaknya di bawah bangunan gedung di depan gedung kantornya. Orang-orang menyebutnya kantin basement. Setelah langkahnya menuruni undakan tangga, Renata segera meraih sebotol air mineral dingin dari kulkas dan menenggak hingga habis setengahnya. Panas matahari tidak hanya mengeringkan kulit tetapi juga kerongkongannya. Ia memesan mie kuah Aceh lalu memilih tempat duduk di bawah putaran kipas angin.

Kantin basement ini adalah tempat makan favorit para karyawan dan staff  sekelas Renata yang bekerja di kedua gedung yang bersebelahan ini. Selain karena pilihan menunya bervariasi dari banyaknya stand makanan, harganya juga sangat ekonomis dibanding harga makanan di café yang letaknya di lantai dua gedung kantornya, atau di restoran cepat saji di bagian depan gedung. Bisa dibilang, kantin basement adalah foodcourt-nya karyawan.

Mie pesanannya datang hampir bersamaan dengan dua laki-laki yang baru saja menuruni undakan tangga. Ginta, rekan kerjanya, bersama seorang laki-laki sebaya Ginta yang usianya sekitar akhir dua puluhan. Keduanya menghampiri meja Renata sambil berbincang dan sesekali tertawa ringan.

“Hay, Ren. Boleh gabung duduk sini, ya. Ngadem deket kipas,” ucap Ginta sambil menarik salah satu kursi tanpa menunggu persetujuan Renata. “Duduk, Yaz, santai aja. Ini Renata, sohib gue.” Yang diajak bicara lalu mengikuti gerak Ginta, menarik bangku dan duduk.

Renata yang nyaris tersedak karena akan menjawab sapaan Ginta segera meraih botol air mineral dan menenggaknya terburu-buru. “Rese’ ah. Duduk sini, bayarin makanku,” ucap Renata sambil lalu dan kembali menekuri mienya.

Hening beberapa saat ketika Ginta memesan makanan di salah satu stand. Renata melirik sekilas lelaki di hadapannya. Posturnya tegap dengan badan proporsional. Wajahnya asing, belum pernah dijumpai olehnya selama dua tahun bekerja di gedung ini. Matanya sipit, tetapi bukan sipit oriental, alisnya tinggi mencuat, rahangnya tegas, rambutnya agak ikal dan rapi. Ginta kembali ke meja, sekilas Renata menangkap senyum lelaki itu saat Ginta kembali dengan dua gelas es kopi. Senyumnya…ah, segera Renata kembali memusatkan perhatian pada piring mie yang isinya hampir kandas.

“Kenalin, Ren, teman aku. Diaz, dari Jakarta. Renata ini sekantor sama gue, Yaz. Bisa dibilang, junior gue lah.”

Ginta memperkenalkan keduanya. Renata dan Diaz berpandangan dan saling melempar senyum. Hanya sekilas, kemudian Renata menghabiskan makanannya, menenggak habis air mineral yang botolnya sudah tidak berembun lagi, lalu berpamitan. Sedangkan kedua lelaki itu sibuk mengobrolkan sesuatu yang kelihatannya seru.

Selesai membayar, Renata bergegas menaiki undakan tangga dan keluar dari kantin yang dirasanya semakin gerah, entah gerah karena udara yang panas, atau gerah karena salah tingkah. Sebelum kakinya menginjak anak tangga terakhir, Renata menoleh ke belakang, tepat ke arah tempat duduknya tadi. Lelaki yang duduk di samping Ginta tengah memusatkan perhatiannya padanya. Tatapan keduanya bertemu, hingar-bingar suara klakson mobil di depan gedung mendadak senyap, suara-suara penjaga stand yang tengah bergosip ria tiba-tiba hilang. Hening. Senyap. Lima detik. Sepuluh detik. Laki-laki itu melempar senyum sekilas lalu kembali memusatkan perhatian pada obrolannya dengan Ginta. Sedangkan Renata, memutar badan lalu bergegas kembali ke ruang kerjanya.
***

Sebagai editor di harian pagi, dikejar deadline sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Renata. Tapi itu tidak sekalipun membuatnya mengeluh. Timnya kompak, suasana di dalam ruang kerja ada kalanya serius, tapi tau kapan tepatnya harus berubah jadi heboh. Renata berpapasan dengan Dianti dan Maeky di depan lift. Keduanya menenteng bungkusan makanan. Tanpa bertanya pun, Renata tau kebiasaan dua sahabatnya itu yang tidak bisa lepas dari makanan cepat saji yang dibeli di depan gedung.

“Makan di mana, Ren?” Dianti bertanya sambil memperbaiki lipatan kemejanya.

“Kantin. Bareng Ginta.”

“Oh, Ginta bukannya tadi bareng anak TV, ya? Kameramen baru dari Jakarta.”  Renata mengernyitkan dahi sambil menatap Dianti. Sedangkan lift di hadapannya berdenting dan pintunya terbuka. Ketiganya melangkah masuk dan menekan panel angka empat.

“Anak baru, ya? Pantes nggak pernah kelihatan. Iya, tadi Ginta bareng dia. Namanya Diaz. Kerja di atas ya?” khas perempuan muda. Menggosipkan apa saja yang dirasa menarik. Kata ‘di atas’ yang diucapkan Renata, merujuk pada studio televisi di lantai dua puluh satu.

“Cocoknya cowok seganteng dia jadi host, atau anchor gitu, ya. Mau banget sih berakhir jadi juru panggul kamera.” Maeky yang sejak tadi diam ikut menimpali.  “Ini tentang passion, Ky,” ucap Renata sambil memperbaiki helaian rambutnya dan menatap bayangan dirinya lewat pantulan di dinding lift.

“Sok lurus kamu, ah. Mentang-mentang abis dikenalin Ginta sama cowok Jakarta itu.” Maeky menyikut lengan Renata sekilas.

“Cie…yang abis kenalan langsung ngaca.”

Lift berdenting dan terbuka. Dianti segera berlari keluar lift sebelum Renata melayangkan kepalan tinju ke lengannya. Ketiga gadis itu melanjutkan gossip seru seputar lelaki bernama Diaz di ruang kerja mereka. Berbisik-bisik dari kubikel masing-masing.

Waktu berputar, beranjak ke pukul tiga sore, cuaca panas di luar masih menyengat. Diaz duduk di sofa krem tepat di belakang kamera yang didudukkan di atas tripod. Beberapa meter di depannya, Sam dan seorang narasumber sedang berdiskusi dan bersiap untuk pengambilan gambar. Acara live talkshow kesehatan jam tiga sore ini menjadi acara pertama yang digarap oleh Diaz. Lelaki berkemeja biru dongker itu terlihat cekatan mengatur setting kamera beberapa saat lalu. Sekilas Diaz melongok ke luar melalui kaca, pemandangan Kota Surabaya membentang di hadapannya. Ia sempat berpikir sejenak, Jakarta ada di sebelah mana. Ada yang menghentak di dalam dadanya mengingat kota kelahirannya, kota tempat ia dibesarkan, tempat ia bertumbuh dan mengenal sosok perempuan yang pada akhirnya terpaksa ia tinggalkan. Stevia. Sesuatu itu mirip dengan…kerinduan.

Diaz berdecak dan membuang napas keras-keras saat tanpa sengaja bayangan wajah cantik Stevia dengan rambut blondenya yang selalu terawat itu mendesak di ingatannya. Secepatnya dia berlalu dari depan kaca dan memasang headphone. Pukul tiga kurang semenit, rekannya mulai menghitung detik untuk take. Diaz dan seorang rekan kameramen lainnya bersiap di balik kamera.
***

“Diaz tinggal di dekat kost kamu loh, Ren.” Ginta memulai percakapan saat ia, Renata, Dianti dan Alvin duduk bersama melingkari sebuah meja yang berjajar di antara banyak meja-meja lainnya di taman malam itu. Di hadapan mereka tersaji piring masing-masing dengan menu ayam kremes dan berbagai macam lalapan.

Melewatkan makan malam bersama memang menjadi kebiasaan mereka sejak entah kapan tepatnya. Saat mereka sadar, mereka sudah saling akrab satu sama lain. Pada akhir minggu, biasanya seusai makan malam mereka berlanjut ke karaoke, atau ke Surabaya Carnival, sedikit lebih jauh ke Taman Hiburan Remaja atau nongkrong di Kenjeran. Bukan semacam kencan ganda, mereka hanya anak muda yang diakrabkan oleh status bernama rekan kerja. Mereka juga bukan tipe anak muda hura-hura, mereka hanya anak-anak muda biasa.

“Oh ya? Di mana?” Renata berusaha membuat nada bicaranya biasa saja. Tapi tetap saja kedengaran antusias, ini tentu saja memancing perhatian ketiga temannya.

“Santai dong tanyanya. Dia nggak bakal pergi ke mana-mana, kok. Tuh, di apartmen depan kampus. Nggak jauh, kan? Pake motor dari kost kamu, tiga menit juga sampai.”

Renata mengangguk. Otaknya berpikir sesuatu, atau…seseorang. Sejak seusai makan siang tadi, ingatan tentang wajah Diaz seperti menari-nari di depan matanya. Ingin sekali rasanya berpapasan dengan lelaki itu. Tapi hingga saat ia melajukan sepeda motornya untuk keluar dari area gedung, Renata sama sekali tidak berhasil melihat sosok Diaz lagi. Renata menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum sendiri menyadari ada perasaan lain yang bertumbuh dengan cepat di dalam dadanya. Jatuh cinta? terlalu cepat untuk disimpulkan. Renata terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa sadar ketiga temannya mengernyitkan dahi dan saling bertatapan melihat tingkahnya.
***

(Bersambung)